Jumat, 16 Oktober 2009

KEKAYAAN BUDAYA BANGSA

Wayang dan keris secara intangible merupakan sebagian dari warisan budaya bangsa Indonesia yang sudah diakui oleh dunia. Sebagian warisan budaya lain seperti batik, kesenian reyog, lagu rasa sayange, dan makanan tempe telah diklaim oleh negara lain. Entah di masa-masa mendatang warisan apalagi yang akan diklaim oleh negara lain. Sebagai salah satu negara besar, bangsa Indonesia terkenal akan aneka kekayaan budaya mulai Sabang sampai Merauke, baik berupa kesenian, tradisi, kuliner, adat-istiadat, dan sebagainya. Sayangnya tradisi bangsa Indonesia sampai saat ini belum sampai pada tradisi tulis-menulis. Artinya belum semua bentuk warisan budaya yang ada dituliskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Sampai saat ini masih banyak bentuk warisan budaya bangsa yang hanya diwariskan secara lisan atau dalam bentuk folklore. Akibat dari bentuk pewarisan yang masih lemah itulah kemudian sebagian diambil alih dan diakui oleh negara lain. Apalagi negara Indonesia sampai saat ini juga belum mempunyai sistem pendataan kekayaan budaya bangsa secara nasional.
Atas dasar keprihatinan itulah, ada upaya untuk membangun sebuah sistem pendataan kekayaan budaya dalam sebuah data center online. Diharapkan data center online itu nantinya menjadi pusat data kekayaan budaya bangsa yang dapat menjadi acuan hukum terhadap semua warisan budaya bangsa yang benar-benar milik bangsa Indonesia. Pusat data itu nantinya diharapkan dapat terhubung dengan internet dan ditampilkan secara online, bisa diakses oleh masyarakat luas. Namun usaha untuk mewujudkan kerja besar itu harus didukung oleh semua instrumen publik, baik dari pemerintah, pihak swasta, pengusaha, akademisi, seniman, budayawan, praktisi budaya, dan masyarakat luas itu sendiri. Maka langkah awal untuk merealisasikan upaya tersebut harus ditempuh melalui jalan inventarisasi dan pencatatan secara nasional. Langkah awal itulah yang dapat menjadi landasan agar ke depan tidak ada lagi kasus warisan budaya bangsa yang diklaim bangsa dan negara lain. Apalagi secara yuridis, sebenarnya negara Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yakni Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta, yang berbunyi: “Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, benda budaya, dan folklore”.
Demikianlah benang merah diskusi yang diselenggarakan oleh Sekretariat Wakil Presiden bekerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada hari Selasa, 2 Desember 2008 yang lalu di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Acara yang dikemas dalam “Focus Group Discussion” ini menampilkan tiga pembicara, yakni Henry Soelistyo Budi dari Deputi Seswapres Bidang Administrasi (dengan tema Urgensi dan Prospek Sistem Nasional Pendaftaran Kekayaan Budaya), F.X. Baskara T. Wardaya, S.J. dari Pusat Dokumentasi Universitas Sanata Dharma (dengan tema Upaya Dokumentasi Karya Budaya), dan Imron Fauzi dari Yayasan Air Putih (dengan tema Membangun Sistem Pendataan: Pengalaman Dalam Situasi Tanggap Darurat).
Upaya inventarisasi ini harus segera direalisasikan. Apalagi sebenarnya ide preventif untuk segera menyusun kekayaan budaya bangsa pernah dilontarkan sekitar 17 tahun lalu oleh Prof. Dr. Edi Sedyawati, Dirjen Kebudayaan ketika itu. Namun ide cemerlang itu hingga saat ini belum terwujud sampai adanya keributan dari masyarakat Indonesia yang merasa miliknya diklaim oleh negara lain. Untuk memulai menginventarisasi warisan budaya bangsa, Baskara T. Wardaya, menyarankan sebaiknya klasifikasinya berlandaskan pada konsep yang pernah dilontarkan oleh antropolog senior, Koentjaraningrat, yakni tujuh unsur kebudayaan: sistem kemasyarakatan, mata pencaharian, kesenian, religi, sistem pengetahuan, peralatan hidup, dan bahasa. Karena setiap masyarakat yang menghasilkan warisan budaya tidak pernah lepas dari tujuh unsur kebudayaan tersebut.
Acara diskusi nasional ini berlangsung pukul 08.00—13.00 WIB dan dihadiri sekitar 50 peserta dari berbagai elemen masyarakat, seperti akademisi, budayawan, praktisi, LSM, pemerintahan, dan swasta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar